Oleh : Dena Pia Apta
Siswa SMAN 1 Kayuagung
Kelas: X.IPA.4

Kayuagung “Kota Duta”. Sebagai pribumi, entah harus bangga atau malu dengan sebutan ini. Kota Duta diberikan karena “katanya” Kayuagung adalah tempat asalnya para “duta” yang bertugas di Negeri Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Kamboja. Kata “bertugas” di sini maksudnya adalah bertugas melakukan tindakan kriminal (pencurian, perampokan, dll) yang umumnya beraksi di luar negeri. Tidak hanya itu, masih “katanya” Kota Duta juga diberikan karena mayoritas penduduk di kota ini “pekerjaannya” adalah menjadi “duta”. Pekerjaannya masih mengacu pada kata tugas yang sebelumnya, yakni melakukan tindakan kriminal.

Tidak ada yang tahu pasti, siapa yang pertama kali memberikan label Kayuagung sebagai kota duta. Jika definisinya mengacu pada pengertian yang pertama, jawabannya mungkin saja benar. Duta menurut KBBI V adalah orang yang diutus oleh pemerintah untuk melakukan tugas khusus, biasanya ke luar negeri. Pada awal tahun 1960-an, beberapa pemuda dari Kayuagung melakukan perjalanan ke luar negeri. Mereka pergi bukan untuk melakukan tugas Negara, bukan pula untuk berpelesir, melainkan untuk mencuri. Melihat hal tersebut, maka secara perlahan masyarakat menyebut mereka sebagai duta. Alasannya, karena dianggap lebih halus dibandingkan dengan menyebut maling atau bandit.
Selanjutnya, apabila mengacu pada pengertian yang kedua. Kota Kayuagung disebut Kota Duta karena mayoritas penduduknya bekerja sebagai duta. Hal ini, sepertinya tidak bisa lagi dibenarkan, karena dewasa ini mayoritas penduduk Kayuagung berprofesi sebagai ojek. Dilansir dari situs morgesiwe.com jumlah penduduk yang berprofesi sebagai Duta di Kayuagung, hanya 8,72% sedangkan yang berprofesi sebagai ojek motor sebanyak 34,2% penduduk pribumi. Sehingga dewasa ini, apakah lebih tepat jika disebut Kota Ojek?

Sebagai generasi muda, disebut sebagai kota duta jelas bukanlah hal yang membanggakan. Belum habis rasa kecut dengan sebutan tersebut, namun sekarang muncul kembali fenomena baru yang lebih menyedihkan. Jika dahulu, para bandit ini disebut duta, maka layak disebut apakah mereka kini? Pasalnya, jika dahulu para duta tersebut berprinsip bahwa pantang maling di negeri sendiri! Semacam ada aturan tidak tertulis bahwa mereka tidak akan mengotori tempat tidur dan makannya sendiri. Kini, “dutaku” tak lagi menyeberang pulau adalah kalimat sedih mengandung amarah. Bandit itu kini telah mengacak-acak tempat makan dan tidur mereka dan sanak-saudaranya sendiri.

Bandit dulu bukanlah bandit yang sekarang. Dahulu mereka mintar karena mencari modal untuk membuka usaha sendiri. Namun, kini mereka mintar untuk makan, sabu, atau susu anak istri. Bandit dahulu, direstui anak istri karena sebelum pergi mereka akan didoakan “disedokahlopaskan” agar mereka selamat dan mendapatkan rezeki. Tapi kini, mereka bekerja dalam senyap dan berujung penyergapan memunculkan malu untuk keluarga. Maling di negeri sendiri mungkin lebih mudah. Mudah karena mereka sudah tahu medan, tahu jalan, tahu keadaan, dan tau persis siapa korban.

Berjalan dan bermotor kini tak lagi aman. Parkir motor di depan rumah hilang. Pergi ke pasar hari Sabtu khawatir dicopet. Pulang dari ATM takut dipepet. Pulang terlalu sore takut dibegal. Bandit ini tak pandang bulu dalam beraksi, anak-anak, remaja, dan ibu-ibu tak jarang jadi korban.

Puncaknya, yang terjadi pada awal bulan Oktober 2019, seorang ibu harus terjatuh dari motornya karena mengejar bandit yang mengambil barang-barangnya. Ibu tersebut harus operasi plastik lantaran wajah beliau rusak akibat kejadian tersebut. Hal ini harusnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.
Fenomena ini, dapat dilihat dari 3 sisi. Sisi yang pertama, dari sisi pelaku. Setiap perbuatan adalah pilihan. Kehidupan yang sulit, tentu telah memaksa mereka melakukan hal tersebut. Menurut penulis ada 3 alasan mengapa mereka berbuat demikian. 1) Faktor ekonomi, kebutuhan hidup yang banyak tapi tidak memiliki pekerjaan. Untuk bekerja dengan orang lain tidak punya ijazah, untuk buka lapangan pekerjaan sendiri tak punya modal. 2) Gaya hidup, gaya hidup yang tinggi tetapi tidak sesuai dengan kemampuan. Kehidupan di sosial media yang saling pamer harta membuat hati cemas bila diri tak sama dengan orang lain hingga menghalalkan segala cara. 3) Narkoba, mereka tidak punya anak atau istri yang harus dinafkahi dan tidak juga peduli dengan kemajuan zaman, tapi mereka dari anak-anak remaja tanggung yang terlanjur kenal dengan narkoba.

Sisi yang kedua, dari masyarakat. Masyarakat melihat kejadian ini tentu adalah sisi yang paling banyak dirugikan. Masyarakat menjadi korban, menderita banyak kerugian baik materi, fisik, maupun psikisnya. Sedangkan masyarakat lainnya, timbul rasa cemas dan tidak aman, jangan-jangan dijadikan korban selanjutnya. Kemudian sisi yang ketiga, pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk masalah ini. Tugas pemerintahlah yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi penduduknya. Jika ada keadaan yang taka man maka pemerintah harus mengamankan, jika tak nyaman maka pemerintah juga yang harus memberikan rasa nyaman itu. Pemerintah yang harus bertanya mengapa muncul fenomena ini.

Mengapa masyarakat tidak aman dan nyaman? Mengapa masyarakat memilih untuk menjadi pencuri? Tentu hal itu ada jawabannya.
Sebagai pelajar, konsepnya jelas, hal ini karena kemiskinan dan kebodohan. Konsep pelajar tentu tidak sama dengan pemerintah. Solusi yang ada di pikiran hanyalah sebatas teori tanpa tau praktiknya tentu sangatlah susah. Pertama, Masyarakat menjadi bandit karena faktor ekonomi, tidak banyak yang bias dilakukan di kota kecil ini. Selain menjadi ojek di jalan-jalan yang penuh lubang, yang tentu banyak saingannya pula? Mencari ikan di sungai yang dangkal yang mungkin telah tercemar karena penambangan pasir? Mencari kayu di hutan yang telah terang karena pembangunan jalan tol? Untuk bekerja yang membutuhkan ijazah, sekolahnya tak tamat. Pilihan memang selalu ada tetapi tugas pemerintahlah yang memberikan pilihan itu. Pilihannya bukan TIDAK MAKAN atau MALING, tetapi KERJA INI atau KERJA ITU.

Kemudian, untuk remaja yang terkena narkoba. Tidak menutup mata, pemerintah tentu tahu hal ini. Cerita anak remaja yang putus sekolah tepat di kelas 2 atau kelas 3 banyak terjadi. Kejadian ini seperti siklus yang tak pernah putus, mustahil tidak ada solusi. Pemerintah harusnya sudah tau, bagaimana ini terjadi, bagaimana ini bisa dihentikan. Mereka benar-benar butuh jalan pulang, karena mereka hanya tersesat. Kebanyakan hanya mencap kemudian memberikan solusi secara cepat. Mereka terkena narkoba, dimarahi orang tua hingga putus aliran dana, sehingga alasan satu-satunya adalah dengan mencuri di sekolah agar hasrat untuk mengonsumsi narkoba dapat terpenuhi, ketahuan pihak sekolah dikeluarkan, putus sekolah mencuri di luar, ditangkap polisi, dihajar massa? Seperti itulah siklus berputar, pemerintah tidak melakukan apa-apa.
Uraian di atas seperti anti pemerintah, padahal bukan berarti pemerintah tidak melakukan apa-apa. Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk mengatasi ini namun hasilnya tidak menyelesaikan masalah hingga ke akarnya. Sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa mengeluarkan anaka-anak dari sekolah atau menangkap para penjahat ini bukanlah solusi terbaik. Pemerintah harusnya punya cara pencegahan dan penanganan terkait masalah ini. Penanganan tidak bisa diragukan lagi. Pemerintah bahkan memiliki tim khusus untuk menangani dan menyelesaikan masalah ini. Tetapi, bagaimana dengan tidak pencegahannya? Ini adalah PR kita bersama. Terakhir, untuk masyarakat. Masyarakat harus peduli dengan lingkungan sekitar, peka dengan keadaan tetangga, dan masalah orang-orang terdekat. Jika ada masalah, diselesaikan bersama, jika tidak bisa dilaporkan ke yang lebih berwenang menanganinya.

Sehingga pada akhirnya kepedulian masyarakat, keterjangkauan biaya pendidikan, ketersediaan lapangan kerja, program keterampilan khusus persiapan kerja, dan modal usaha bersama adalah hal mutlak yang harus disiapkan pemerintah untuk mengatasi hal ini. Sehingga kalimat klise seperti ini, “Kayuagung Kota Duta”, “Dutaku tak lagi menyeberang pulau”, ataupun “Dutaku mati di depan periuk nasi” tidak akan ada lagi.

 

Opini ini merupakan Juara 1 lomba menulis esai yang di adakan di SMAN 1 Kayu Agung dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda Tahun 2019

Bagikan: