Palembang, Indo Merdeka – Koalisi Pers Sumatera Selatan (KPSS) menilai pasal 4 ayat 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2020 yang berbunyi “pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan” berakibat buruk pada semangat kebebasan pers yang diatur oleh konstitusi dan undang-undang pers.
Pembatasan kerja-kerja pers di ruang persidangan akan juga berpengaruh dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Aturan ini juga akan mengebiri salah satu fungsi pers yakni sebagai kontrol sosial. Penerapan aturan ini juga akan membuka ruang bagi praktik-praktik kriminalisasi bagi jurnalis karena yang melanggar aturan yang tdak benar ini akn bisa dijerat dengan dalil mengina pengadilan.
Sebagai bentuk penolakan atas Peraturan Mahkahamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 pasal 4 ayat 6 Koalisi Pers Sumatera Selatan (KPSS) meluncurkan petisi, pada Jumat (8/1) di Kedai Ngopi COW, Jalan Supeno No 11 Palembang.
Petisi KPSS ini dihadiri organisasi pers dan perusahaan pers di Sumatera Selatan, diantaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumsel, Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI) Sumsel, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumsel, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Sumsel, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumsel, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palembang, dan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Sumsel dan jurnalis di Palembang.
Dalam tuntutannya, KPSS meminta agar Mahkamah Agung untuk segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim. PMA ini tidak sejalan dengan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi. “Sebab, ketentuan tersebut akan menghambat dan membatasi jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik di ruang sidang.
“Karena ini bertentangan dengan UU Pers. Secara rinci UU Pers No 40 pasal 4, ayat (1) menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiar. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” Kata Ketua PWI Sumsel, Firdaus Komar.
Firko juga mengatakan KPSS juga meminta MA untuk tidak terus membuat ketentuan yang bisa membatasi jurnalis bekerja, shgb bisa menghambat kebebasan pers.
“Kami bisa mengerti bahwa MA ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. Namun, niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi. Sebab, hak untuk mendapatkan inforasi itu ditetapkan oleh regulasi yang derajatnya lebih tinggi dari PMA yaitu UU No 40 tahun 1999 tentang Pers,” ujarnya.
KPSS juga meminta Pengadilan Negeri (PN) Kelas I dan pengadilan-pengadilan yang ada di Sumatera Selatan untuk menyampaikan petisi ini ke Mahkamah Agung, dan mendesak Dewan Pers untuk menyiapkan langkah-langkah agar pasal 4 ayat 6 PMA Nomor 5 tahun 2020 segera dicabut karena menganggu kerja-kerja pers di seluruh Indonesia.
“Saya sudah komunikasi dengan PWI Pusat. PWI Pusat akan komunikasikan ini dengan MA berkaitan dengan acara kita hari ini. Mungkin kasus ini secara nasional ada di daerah-daerah. Intinya kita sebagai warga masyarakat Pers Sumsel meminta untuk segera memfollow up (menindaklanjuti) dan mencabut aturan ini, dan tidak terulang kembali kejadian seperti setelah kejadian tanggal 5 kemarin,” tegas Firko.
Sementara itu, Ketua AJI Palembang Prawira Maulana mengatakan bahwa tuntutan ini berawal dari kerja-kerja jurnalistik yang mulai dibatasi.(Ron)