Jakarta, Indo Merdeka – Tanggal 21 Mei 1998 atau 23 tahun lalu adalah puncak jatuhnya rezim Suharto. Agenda Reformasi yang digaungkan tahun 1998 dahulu itu, dipandang masih sangat relevan hingga hari ini, salah satu agenda tersebut ialah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan harus dijadikan gerakan kembali di semua lini, baik di penyelenggara negara maupun kalangan masyarakat sipil.

“Saya melihat agenda mendasar dari Reformasi itu masih sangat relevan hingga hari ini. Agenda itu bahkan harus menjadi gerakan kembali dari seluruh elemen bangsa. Kita harus berani jujur bahwa ketiga praktik tersebut masih nyata dalam kehidupan bernegara kita,” kata Willy Aditya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Jumat (21/5/2021)

Ia juga mengatakan, pola gerakannya harus baru dan tidak terjebak dalam romantisme masa lalu. Gerakan anti-KKN yang baru harus lebih modern, menunjukkan kemauan yang kuat, menyasar pada permasalahan mendasar, yakni sistem dan mental, serta tidak terjebak dalam hal yang sloganistik di era reformasi sekarang.

“Reformasi mestinya menjadi antitesis dari praktik semacam itu. Kehidupan politik dan bernegara, yang semakin terbuka semestinya membuat praktik KKN menjadi tereliminir,” ujarnya

Tetapi, malah praktik bernegara di masa Orde Baru dulu yang otoriter dan asal bapak senang (ABS) sudah muncul lagi melahirkan korupsi model baru, malah subur lagi disegala pelaku dan aktor.

“Setelah 23 tahun Reformasi ternyata praktik KKN Orba masih belum berubah juga. Slogan atau rupanya saja yang berbeda dengan masa Orba dulu”, tegasnya.

Dikatakan, ini menunjukkan bahwa masih ada masalah hingga saat ini. Ia melihat secara sistemik, masih banyak pola penyelenggaraan negara yang memberi celah bagi terjadinya KKN. Perangkat-perangkat penunjang pelaksanaannya masih sangat konvensional, bahkan bisa disebut kuno dan akrab dengan KKN.

“Bahkan malah sistim teknologi informasi yang berkembang pesat bagi upaya mereduksi praktik korupsi,” tutupnya (oce)

Bagikan: