Palembang, Indo Merdeka – Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Wahida Baharudin Upa mengungkapkan bahwa soal Regulasi BPJS perlu direvisi karena dibawa langsung oleh badan presiden langsung dan ini menjadikan tidak ada kewajiban BPJS   bertanggungjawab.

“Karena di bawah Badan presiden, orang tidak bisa meminta pertanggungjawaban, seorang Bupati, Gubernur, Menteri maupun anggota DPR aja tidak bisa meminta pertanggungjawaban, karena Undang-undangnya, memang tidak mewajibkan bagi BPJS untuk bertanggung jawab,” ungkapnya saat FGD soal Potret Buram BPJS dengan tema “Kebijakan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan di Era Otonomi Daerah” digelar oleh Komite Rakyat Terpadu (PP – ASB – PPMI – SRMI)  di Hotel Swarna Dwipa, Jumat, (17/1).

Lebih lanjut, Ia mengatakan UU Saoal BPJS perlu direvisi, dengan Regulasi yang memihak kepada masyarakat,  harus diubah regulasi secara organisasi. SRMI dengan tegas bahwa sistem pelayanan kesehatan dengan sistem ansuransi tidak profesional, dalam UU pasal 34 menegaskan bahwa tidak ada dikatakan wajib bagi masyarakat “ Nah sekarang regulasi sudah masuk (DPR), jadi tugas kita bersama untuk di revisi, revisinya adalah satu, menghilangkan kata ansuransi. Menghilangkan kata Wajib bagi rakyatnya, yang harus wajib itu  adalah negara, kemudian Badanya, bukan lagi satu badannya yang didalamnya ada ansuransi yang dibawah langsung kementerian kesehatan,” paparnya.

Kemudian, soal Peraturan Presiden (Perpres)  Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, kata Wahida,  ini memaksa pemeriintah daerah, karean ada dua pasal yang menjadi problem pemerintah daerah yaitu sola pasal kenaikan iuran BPJS dan pasal tentang Integrasi Jamkesda ke BPJS.

“Seharusnya, ini tidak dipaksakan dalam bentuk Perpres, karena dalam UU tidak megatur, yang diatur dalam UU justru ada sharing, ada kerjasama. Seperti contoh dalam UU 34 tentan otonomi daerah, dimana di pasal 9-12 dijelaskan bahwa pemerintah daerah untuk mengelola sendiri sitem kesehatannya.” Jelasnya.

Wahida mengatakan bahwa untuk alokasi anggaran pemerintah daerah untuk mengelola sistem kesehatan sudah di berikan dalam UU kesehatan No 36 di pasal 171, untuk APBN sebesar 5 persen dan APBD 10 persen.

“Sebenarnya setelah ada Perpres ini memotong kedaulatan wewenang otonom daerah dihilangkan, jadi sifat otonom daerah, mereka tidak bisa menyelenggarakan (Sistem Kesehatan,” pungkasnya.

Sedangkan,  Pemerhati Sosial dan Politik Sumsel, Bagindo Togar, bahwa tidak semudah itu untuk membubarkan BPJS. Dan seharusnya masyarakat harus memberikan masukan kepada pemerintah melalui DPR untuk merevisi undang-undang tersebut.

“Tidak semerta-merta usulan dari masyarakat ini harus membubarkan BPJS, karena itu akan mengandung utopis atau sia-sia belaka. Kalau pemerintah menerima aspirasi masyarakat supaya kembali turunkan tarif, maka akan terjadi defisit anggaran, ketika defisit anggaran terjadi, maka akan terjadi tekanan terhadap pembiayaan yang harus diberikan pemerintah terhadap layanan masyarakat, selain itu politik anggaran pemerintah juga terganggu,” jelasnya.

Lain halnya dengan Wahidin, Presiden PPMI juga menilai, bahwa kenaikkan iuran itu adalah langkah keliru dari pemerintah. “Sebenarnya sebelum muncul Perpres nomor 82 tahun 2018 yang menjadikan program integral program pemerintah kepada layanan BPJS, inilah yang menjadi biang kerok permasalahanya, sehingga di situ mewajibkan orang untuk membayar iuran,” katanya.

Karena, sesuai dengan amanat konstitusi, bahwa kesehatan itu adalah hak dari pada warga negara, jadi sudah menjadi tugas negara untuk memberikan pelayanan kesehatan yang prima sebagai amanat undang-undang. “PPMI meminta presiden mencabut Perpres nomor 32 tahun 2013 supaya BPJS lebih baik,” terangnya.

Sedangkan Ketua DPW PPMI Sumsel, Charma Aprianto yang juga Anggota Komite Rakyat Terpadu berharap kepada  Pemerintah Pusat, betul-betul mendengarkan hal yang sangat meresahkan  Bangsa ini, karena ini hak dasar Masyarakat jangan sampai DPR dikangkangi tidak didengarkan mestinya yang kelas 3 tidak naik ternyata naik,

“Jadi betul-betul hari ini Pemerintah pusat khususnya Bapak Presiden Jokowi, harus betul-betul mau mendengarkan karena ini urjen sekali, kalau tidak kami akan terus bergerak sampai tuntutan Masyarakat Layanan Kesehatan Gratis bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu tercapai“.tegas Charma Apriato (To)

Bagikan: