Jakarta, Indo Merdeka – Dengan dalil dalil menyelamatkan nelayan kecil yang diikuti dengan membuka keran
ekspor lobster benih udang yang sebelumnya dilarang oleh menteri yang lama.
Kemudian lalu diterbitkanlah Permen KP Nomor 12/2020 yang ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada tanggal 4 Mei 2020 yang mengawali dimulainya
liberalisasi ekspor ilegal lobster.
Selanjutnya diikuti terbit aturan quota izin ekspor yang diputuskan oleh Menteri KKP. Yang kemudian diduga membawa Menteri Kelautan dan Perikanan ditetapkan jadi tersangka
oleh KPK rabu tanggal 25 November 2020, cuma dalam tempo 24 jam setelah kena operasi cokok koruptor
di Bandara Soekarno Hatta Jakarta.
Aliran ACK-Staf Khusus-Edhy
Dengan modus bergaya lama dengan sedikit perubahan oleh pelaku dengan menggunakan lewat antar rekening antar bank.
Transfer pertama dimulai dari PT DPP mengirim uang sejumlah Rp 731.573.564 ke rekening PT ACK.
Tak lama setelah itu Edhy mengarahkan melalui Tim Uji Tuntas bahwa PT DPP memperoleh penetapan quota kegiatan
ekspor benih lobster. Yang sampai kini telah melakukan 10 kali pengiriman ekspor dengan menggunakan perusahaan resmi.
PT ACK terdiri dari Amri dan Ahmad Bahtiar yang diduga merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo.
“Kemudian masuk lagi transfer ke rekening PT ACK yang kedua yang diduga berasal dari beberapa
perusahaan eksportir benih lobster, selanjutnya uang itu di tarik dan masuk
ke rekening AMR dan ABT masing-masing dengan total Rp 9,8 Miliar,” kata wakil Ketua KPK Nawawi P di Gedung KPK rabu (25/11/2020).
Selanjutnya uang itu dijadikan bancakan serta dibagi bagi lewat transfer antar bank. Tanggal 5 November 2020, diduga di transfer uang dari rekening Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih, staf istri Edhy Prabowo sebesar Rp 3,4 miliar.
Yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy, istri Edhy yang bernama Iis Rosyati Dewi, Safri, dan Andreau.
Antara lain telah dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh EP dan IRW di Honolulu AS ditanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp 750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy, kata Nawawi P.
Edhy Prabowo , Safri, Siswadi, Ainul, Andreau, dan Amiril ditetapkan jadi tersangka penerima suap disangka melanggar melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan, Suharjito selaku tersangka pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara dua nama lain masih jadi buronan KPK yakni APM staf kusus Menteri KKP dan AM pihak swasta.
“KPK minta untuk dapat segera menyerahkan diri ke KPK”, kata Nawawi.
Andreau Pribadi Misata, APM dan Safri berkedudukan sebagai Ketua Pelaksana dan Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas.
“Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur,” kata Nawawi lagi.
Sebulan lalu pada awal Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suharjito menemui Safri di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK (Aero Citra Kargo) dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor yang merupakan kesepakatan antara AM (Amiril Mukminin) dengan APS (Andreau) dan SWD (Siswadi, pengurus PT ACK), ungkap Nawawi.(oce)