Jakarta, Indo Merdeka – Wilayah Sahara Maroko atau Sahara Barat kembali menjadi perhatian masyarakat internasional. Perhatian dunia tertuju ke wilayah itu setelah kelompok separatis Front Polisario melanggar perjanjian gencatan senjata dengan Kerajaan Maroko yang telah berlangsung selama 29 tahun pada akhir pekan kemarin.

Konflik antara Maroko dan Polisario ini menjadi tema yang dibahas khusus dalam pertemuan rutin Dewan Kerjasama Perdagangan dan Investasi Indonesia-Maroko (DK-PRIMA) yang diselenggarakan Kamis malam (19/11).

Pertemuan dihadiri mantan Dubes RI untuk Maroko, Tosari Widjaja, dan Presiden DK-PRIMA Heppy Trenggono bersama sejumlah pengurus lain.

Sebagai narasumber adalah pengamat hubungan internasional Teguh Santosa yang pernah dua kali menjadi petisioner masalah Sahara Barat di Komisi IV di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, pada tahun 2011 dan 2012.

Teguh juga pernah berkunjung ke Sahara Barat. Selain itu dia juga pernah berkomunikasi dengan sejumlah mantan petinggi Polisario seperti pendiri Polisario Ahmadou Ould Souilem yang memutuskan kembali ke pangkuan Kerajaan Maroko pada tahun 2010. Juga mantan Kepala Polisi Polisario, Mustapha Salma Ould Sidi, yang melarikan diri dari Kamp Tindouf dan membongkar kebobrokan Polisario.

Teguh juga pernah bertemu dengan utusan Polisario Muhammad Buhri yang pada tahun 2010 berkunjung ke Indonesia.

Dalam pemaparannya, Teguh mengatakan, istilah Sahara Maroko merujuk pada Sahara Barat atau Western Sahara yang digunakan di forum-forum internasional. Selain kedua istilah ini, juga dikenal istilah Sahara Spanyol merujuk pada wilayah yang sama ketika masih dikuasai Spanyol dari tahun 1912 sampai 1976.

Sejarah konflik di Sahara Maroko, kata Teguh yang juga Direktur Bidang Promosi, Media Luar Negeri DK-PRIMA, setidaknya dapat ditarik dari Konferensi Berlin di tahun 1884-1885. Di dalam konferensi yang dipimpin Kanselir Jerman Otto von Bismarck tersebut negara-negara superpower di Eropa sepakat untuk membagi-bagi benua Afrika, seolah-olah itu adalah tanah kosong yang tidak didiami manusia.

“(Superpower Eropa) membagi Afrika untuk menghindari konflik di antara mereka. Mereka sepakat siapa dapat apa,” terangnya sambil menayangkan peta yang memperlihatkan pembagian wilayah kekuasaan Eropa di Afrika.

Di awal era yang disebut Scrambled for Africa itu, Kerajaan Maroko masih “aman”, alias tidak tersentuh oleh kekuasaan negara-negara Eropa.

Baru pada tahun 1912, dalam Treaty of Fez atau Traktat Fez (sering juga disebut Fes), Sultan Abdelhafid menyerahkan Maroko kepada Prancis yang menempatkan Maroko di bawah perlindungan Prancis.

“Melalui Perjanjian Fez di bulan Maret 1912, Maroko bersedia berada di bawah perlindungan Prancis. Lalu pada bulan November 1912 Prancis berbagi kekuasaan dengan Spanyol. Prancis menyerahkan wilayah selatan (Sahara Maroko) kepada Spanyol,” sambung Teguh yang juga merupakan Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko.

Maroko Raya

Dia melanjutkan, kekuasaan Prancis di utara Maroko berakhir pada tahun 1956. Walau Prancis telah angkat kaki dari bagian utara Maroko namun Spanyol enggan menyerahkan wilayah-wilayah Maroko yang mereka kuasai, baik yang berada di Gurun Sahara maupun yang berada di pesisir Laut Mediterania.

“Sejak saat itu pula, orang-orang di utara Maroko berusaha untuk membebaskan Maroko (terutama yang berada di bagian selatan) dengan berbagai cara, termasuk perang gerilya demi mengusir Spanyol,” tambahnya.

Sementara itu, sebagai bagian dari semangat menghapuskan kolonialisasi di muka bumi pasca Perang Dunia Kedua, di tahun 1960 PBB mengeluarkan Resolusi 1514 tentang Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples. Melalui Resolusi 1514 itu disusunlah daftar Non Self-Governing Territory, dimana Sahara Barat masuk di dalamnya.

“Untuk menyikapi Resolusi 1514 ini, Partai Istiqlal Maroko menerbitkan peta Greater Maroko atau Maroko Raya pada tahun 1964. Di dalam peta itu digambarkan wilayah Maroko sebelum dibagi oleh Prancis dan Spanyol,” terang dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dengan menerbitkan peta itu, Partai Istiqlal hendak mengatakan kepada dunia bahwa wilayah-wilayah yang tergambarkan di dalam peta itu mestilah dikembalikan kepada Maroko seperti sebelum era Scrambled for Africa. Peta itu meliputi seluruh wilayah Maroko kini, sebagian wilayah Aljazair, sebagian Mali, dan sebagian Mauritania.

Adapun Front Polisario baru didirikan para pejuang Maroko dari utara dan dari selatan (orang-orang Sahrawi) pada tahun 1973 di Kamp Tindouf. Di dalam peta yang diterbitkan Partai Istiqlal di tahun 1964, Tindouf termasuk bagian dari Maroko Raya. Namun kini Tindouf merupakan bagian dari Aljazair.

Kemudian, menyusul krisis ekonomi yang berubah menjadi krisis politik di Eropa barat pada tahun 1974, Spanyol akhirnya mengumumkan rencana angkat kaki dari Sahara Maroko atau Sahara Barat. Pengunduran diri baru benar-benar mereka lakukan pada 1976.

Dinamika Baru

Setelah Spanyol mengumumkan niat angkat kaki dari Sahara tercipta sebuah dinamika baru di kawasan itu. Kelompok Polisario yang tadinya merupakan alat pembebasan wilayah selatan Maroko dari Spanyol perlahan tapi pasti berubah menjadi kelompok yang ingin melepaskan diri tidak hanya dari Spanyol tetapi juga dari Maroko. Dari markasnya di Tindouf, Polisario menginginkan Sahara Barat menjadi negara sendiri.

Perbedaan pandangan ini pun diangkat hingga ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Pada tahun 1975 ICJ menerbitkan penilaian yang mengatakan bahwa Sahara Maroko adalah tanah kosong atau terra nullius sebelum Prancis berkuasa. Namun dalam penilaian yang sama ICJ juga mengakui bahwa Sahara Maroko memiliki hubungan erat dengan Maroko  di masa lalu .

“Satu sisi penjelasan ICJ ini menguntungkan Polisario. Tapi satu sisi lainnya menguntungkan Kerajaan Maroko,” kata Teguh.

Juga di tahun 1975, dalam Perjanjian Madrid atau Madrid Accord antara tiga negara yakni Mauritania, Maroko, dan Spanyol, disepakati Mauritania meninggalkan Sahara Barat.

Sebagai protes atas hasil Perjanjian Madrid, Polisario mendirikan Republik Demokratik Arab Sahrawi (SADR) juga di Tindouf.

Sejak itu, perang terbuka terjadi antara Maroko melawan Polisario dan negara boneka yang mereka dirikan.

Kedua pihak, Maroko dan Polisario sepakat untuk gencatan senjata pada tahun 1991. Selanjutnya pembicaraan untuk menentukan nasib Sahara Maroko dilakukan di berbagai forum, diawali pembicaraan di Manhasset, New York, pada 2007 hingga 2008, dan diikuti pembahasan di Komisi IV PBB yang menangani isu politik khusus dan dekolonisasi.

Provokasi Polisario

Komitmen gencatan senjata dirusak oleh pernyataan pemimpin Front Polisario Brahim Ghali akhir pekan kemarin yang mengatakan akan membatalkan perjanjian itu. Sebelumnya Front Polisario kerap berbuat onar di El Guergarat yang merupakan zona penyangga.

Menurut Teguh, provokasi yang dilakukan Polisario ini didorong oleh dua hal.

Pertama, pamor Polisario di panggung internasional semakin meredup sejak Perang Dingin berakhir. Bahkan dalam satu dekade terakhir banyak negara yang tadinya mengakui Polisario dan SADR menarik pengakuan mereka.

Selain itu, Polisario juga mulai menghadapi oposisi di Kamp Tindouf yang tidak puas dengan sikap otoriter Polisario. Tidak sedikit kelompok oposisi di Kamp Tindouf dijebloskan ke penjara oleh Polisario. Hal lain, Polisario juga diduga terlibat dalam perdagangan ilegal senjata dan narkoba, serta terlibat jaringan terorisme internasional.

Di sisi lain, pamor Maroko di panggung internasional semakin kinclong dalam dua dekade belakangan ini. Maroko memberikan bantuan yang tidak sedikit untuk negara-negara Afrika yang tengah menghadapi berbagai persoalan sosial dan ekonomi. Maroko juga aktif mempromosikan perdamaian di Libya. Tahun 2017 Maroko memutuskan untuk kembali bergabung dengan Uni Afrika yang mereka tinggalkan di tahun 1984.

Faktor kedua, menurut Teguh, bisa jadi provokasi Polisario itu dilakukan untuk menarik perhatian Joe Biden dari Partai Demokrat yang menang dalam pemilihan presiden Amerika Serikat.

Namun Teguh ragu Joe Biden akan melirik Polisario. Tentu Amerika Serikat dalam hal ini Joe Biden dan Partai Demokrat memiliki catatan yang lebih lengkap mengenai berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Polisario di Kamp Tindouf, termasuk keengganan Polisario membuka pintu untuk UNHCR.

Ketika menjabat sebagai Menlu AS di era Barack Obama, Hillary Clinton sempat bertemu dengan Menlu Maroko Taib Fassi Fihri bulan Maret 2011. Dalam pertemuan itu ia memuji reformasi yang dilakukan Maroko sejak dipimpin Raja Muhammad VI pada 1999. Termasuk pada upaya Maroko membangun semua wilayah negara itu tidak terkecuali Sahara Maroko.(Ron)

Bagikan: