Palembang, Indo Merdeka – Penasaran dengan rumah 100 tiang di Sugih Waras, Kecamatan Teluk Gelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Sejumlah peneliti dari Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sriwijaya (Unsri) , yang dipimpin Dr. Dedi Irwanto dan anggota peneliti Dr. Hudaidah, Dr. M. Izzudin mendatangi rumah 100 tiang untuk dikaji lebih mendalam bersama beberapa orang mahasiswa, Senin (23/8).

Kajian ini nantinya tidak saja menarasikan keberadaan rumah 100 tiang semata, namun lebih jauh akan direvansikan dengan hubungan antar marga di OKI. Keberadaan rumah 100 tiang tidak lepas dari kedudukan Sugih Waras pada masa lampau sebagai ibukota dari Marga Pegagan Oeloe II.

Menurut Dedi dulu , Kepala marga Pegagan Oeleo II, Pangeran Rejed Wiralaksana mencoba menjalin perkawinan politik dengan Pasirah Marga Kayu Agung, Pangeran Ismail. Putra Pasirah Pangeran Rejed, Depati Malian berniat meminang putri Pasirah Pangeran Ismail dari Marga Kayu Agung.

Namun sesuai dengan tradisi tingkat adat paling atas Marga Kayu Agung, perkawinan ini harus dilaksanakan secara Mabang Handak. Sebuah bentuk perkawinan adat Marga Kayu Agung secara besar-besaran dan beradat yang disebut “begawai” atau “begorok” yakni pesta besar-besaran dengan prosesi adat yang lengkap dan teratur.

Menurut Dr. Dedi Irwanto, Tradisi Mabang Handak pada perkawinan Mabang Handak antara putra Pangeran Rejed dan putri Pangeran Ismail waktu itu lengkap dihadiri oleh seluruh warga marga di seluruh OKI.

“Ibarat kata yang buta dibimbing, yang pincang dipapah untuk memeriahkan pesta perkawinan adat ini”, pungkasnya.

Kajian ini menurutnya sebagai bentuk mencari relevansi pada kehidupan marga-marga di OKI masa lampau yang akan dijadikan muatan lokal pembelajaran sejarah di peserta didik sekolah masa kini. Pada tradisi perkawinan Mabang Handak ini acara harus dilaksanakan di rumah baru tempat kediaman kedua mempelai setelah menikah. Artinya rumah baru ini dibangun sebelum abad ke-18, sampai menjelang pernikahaan politik ini tahun 1804.

“Untuk menampung banyaknya tamu, maka fondasi rumah harus kuat. Itulah dibangun dari 100 tiang kayu unglen”, papar Dedi.

Karena menurutnya sistem perkawinan ambek anak, maka pihak mempelai wanita yang ikut ke pihak laki-laki.

“Sebab Depati Malian pada waktu itu sudah memiliki posisi pembarab sekaligus deputi pangeran. Depati Malian anak tertua yang akan menggantikan posisi Pangeran Rejed setelah beliau mangkat sebagai pasirah di Pegagan Ooloe II. Jadi rumah ini nanti juga akan menjadi rumah pasirah yang akan melayani seluruh warga marga Pegagan Oeloe II,” katanya.

Sehingga selain fondasinya yang harus kuat, ornamennya juga harus indah karena ini rumah pejabat tertinggi di marga. Tangganya pun harus dua kanan tempat masuk dan kiri tempat keluar para tamu.

“Keberadaan rumah 100 tiang ini erat kaitannya antara hubungan antar marga di Ogan Komering Ilir pada masa lampau”, kata Dedi. “Sayang rumah ini sekarang kurang penanganan serius walau masuk dalam cagar budaya di OKI”, kata Dedi.

“Harus ada bantuan perawatan kontinyu dari pihak pemerintah terhadap rumah tua dan bersejarah yang rata-rata terbuat dari kayu di seluruh daerah uluan Palembang. Agar kelak secara historis narasinya harus tetap tersampaikan ke generasi muda berikutnya. Apalagi rumah ini karena ada memori kolektif di masyarakat tentang cara menjaga hubungan baik antar budaya berbeda. Sehingga dapat dipahami kenapa konflik tidak pernah muncul di OKI dan daerah uluan lainnya”, tutup Dedi.

Bagikan: