Oleh : Erwin Jose Rizal / Wartawan Indomerdeka.com

Pergulatan media massa tidak bertambah ringan dimasa kebebasan pers yang paling liberal jika apabila dibandingkan dengan era penjajahan dan masa rezim otoriter.

Ditandai dengan terjadi penggerusan oplah koran yang amat drastis dibandingkan sejak 1999 yang juga liberal, justru dimasa tak ada lagi pembredelan pers.

Sedang masuknya teknologi platform siber oleh yang lain dimanfaatkan untuk berita Hoax, tidak transparan dan laten.

Disisi lain Kebebasan Pers dari sisi konten bahasa berita disorot bahasawan yang membuka kritisi lama dan solusinya.

Naom Chomsky mengatakan, perlunya second opinion atas media massa yang menggiring atas nama pembaca untuk relasi kuasa dan pemodal

Tokoh tokoh pelopor media massa juga mencium hal serupa itu sejak media massa umum dikenalkan di awal abad 19. Tokoh tokohnya bahkan mengalami pembuangan jadi Exile mulai dari Semaun, Tan Malaka. Figur lain yakni BM Diah, Rosihan Anwar sampai Ramadhan KH lewat cara yang berbeda beda. Yang sampai sekarang spiritnya masih tetap aktual menjadi penyemangat dan harapan baru untuk melahirkan media massa yang lebih baik dari suatu masa ke masa yang akan datang. Bahkan mahasiswa Soe Hok Gie tahun 1964 melakukan riset media era Pers Perjuangan itu. Berbeda dengan Yunus Yosfiah menyebutnya UU Pers Nomor 4 Tahun 1999 era Pers Profesional bahwa yang dipercaya dan kridibel yang dibaca pembaca.

Definisi Pers adalah Pers Perjuangan yang indepeden sebagai second opinion yang kridibel dan profesional.

Posisi media massa pada saat ini ada yang menyebutkan akan menghadapi senjakala atau bahasa halus dari akan berakhirnya usia media cetak koran. Penyebabnya bukan karena sebab dicabut izinnya oleh pemerintah seperti dahulu tetapi karena pembaca yang sudah semakin Merdeka 100 persen.

Bagaimana dengan harapan Pers Perjuangan kedepan, apakah akan meninggalkan gelanggang seperti yang dikawatirkan banyak pihak. Ini pertanyaan yang menantang.

Pembabakan bahasan disini di buat dengan pendekatan Ide, paradigma, prilaku dan realita.

Dengan metode observasi dan riset serta wawancara termasuk dari berita yang terbagi dalam 4 sub tema yaitu Cek Oplah, Antropologi Pers, Era Keseimbangan dan Media Tikungan yang produksi berita Hoax

Cek Oplah
Pada suatu hari di bulan November 2021, tiba tiba seorang wartawan menggugat dan menohok pada temannya yang sedang membaca koran dengan perkataan : Memang koran masih ada !

Kebetulan yang menyatakan itu mantan wartawan koran yang punya nama besar, sekarang bermigrasi ke media platform on line siber global.

Media platform digital siber pada saat sekarang ini bertumbuh subur seperti lumut dimusim hujan Sementara edisi terbitan koran sebaliknya semakin sulit dicari dibandingkan dengan semasa orde baru saat media terkena wajib menerima budaya telepon.

Nusron Wahid yang kini jadi anggota DPR mengatakan, oplah koran sekarang turun, pembaca beralih membaca berita lewat gawai.

Dua hari kemudian, Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar di Bogor Jumat (18/11/2021) mengatakan, media massa masih dipercaya publik sehingga media massa tetap penting didalam pemberitaan oleh DPR RI yang menjalankan fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi atau pembuatan undang undang oleh DPR RI

Antropologi Pers
Awal mula kelahiran Pers Perjuangan sudah sejak sedari awal sudah jatuh bangun, bahkan acap juga bisa hidup kembali bertransformasi ke nama lain tetapi koran tidak pernah mati, namum demikian koran cetak sering mati matian agar tetap terbit disetiap edisi dari awal kelahirannya sejak dahulu.

Titik itu kemudian dikenal sebagai point awal mula lahirnya Pers Perjuangan. Dimana tokoh tokohnya sampai ada yang dibuang ke luar negeri karena mempelopori memperjuangkan Kebebasan Pers pengimbang dari media, kuasa dan pemodal.
Aliran genre itu sampai sekarang masih tak jauh beda di luar negeri. Kalaupun ada yang masih bertahan eksis disini adalah buah dari seleksi pembaca dan aspek lain.

Apalagi sejak beberapa tahun terakhir muncul konvergensi media setelah masuknya media online global berteknologi 4.0 bersanding dengan media konvensional yakni media cetak koran.

Skripsi Soe Hok Gie Mahasiswa UI Jakarta yang dibuat 1964, dengan Dosen Pembimbing Nugroho Notosusanto yang kemudian Menteri Pedidikan Nasional dengan pangkat Brigjen, berhasil mengungkap semangat kelahiran koran tempo doeloe oleh Semaun. Yang kemudian dibukukan dengan judul : Riwayat SI Semarang 1917 – 1920.

Salah satu kajian Gie terkait perihal Koran Sinar Hindia kemudian berubah nama jadi Sinar Djawa terbit di Semarang, yang diambil alih tanggal 19 November 1917 oleh Semaun. Sinar Hindia didirikan melalui pengumpulan modal sendiri, dan untuk delik pers nya menjadi tanggung jawab masing masing awak media jurnalisnya sendiri dihadapan aparat penegak hukum.

Koran Sinar Hindia terbit beredar tanpa investor besar dan tanpa hutang saat di nahkodai tokoh pers muda usia 19 tahun, yang berkesadaran membuat koran cetak media massa yang Independen. Sebelumnya berdiri Inlands Journalisten Bond, Perkumpulan Jurnalis Pribumi 1914 di Solo, Jawa Tengah. Dimana Solo waktu itu jadi kota terbuka lengkap dengan hegemoni Barat setelah Semarang. Pada di masa itulah wartawan mulai mengenal berorganisasi seprofesi.

Sinar Hindia tergolong sebagai media pertama yang memiliki pembagian tugas yang dipimpin Pimpinan Redaksi Semaun dan Redaktur. Koran Sinar Hindia mungkin satu satunya koran pribumi saat itu yang memiliki redaktur luar negeri dan halaman luar negeri serta penterjemahnya. Yang sampai kini jadi ciri halaman koran mainstream

Koran Sinar Hindia diperkuat oleh pemuda Darah Biru yang telah mendapatkan pendidikan Barat. Mereka memilih mendirikan media second opinon meminjam istilah Naom. Karena media massa yang lebih dulu berdiri dikenal sebagai koran milik Belanda. Bahkan pada saat itu berkerja dengan koran asing milik warga Belanda dinilai lebih prestisius dengan relasi kuasa dan pemodal yang diduga berkerjasama dengan pemilik media.

Sedangkan kebijakan pemberitaan koran baru nasional sangat berbeda dengan pemberitaan media mainstream. Al akhir riwayat koran Sinar Hindia tidak di bredel oleh pemerintah. Hanya, cuma awaknya Semaun yang dibuang ke luar negeri ke Belanda sebelum dikenalnya istilah tahanan politik.

Rosihan Anwar mengatakan dimasa Pers Perjuangan awak media berkerja dalam Under Pressure, Under Paid dan Under Health

Tan Malaka mendirikan Dawn di Manila, Filipina. Tan Malaka: Dari Penjara ke Penjara

Sementara dari seberang lautan Tan Malaka memimpin penerbitan Dawn yang dibiayai bersama warga Katolik di Manila, Filipina. Sesua dengan prinsip prinsip prinsip koran modern yang Independen.

Setali tiga uang Tan Malaka kemudian dibuang ke China oleh Amerika Serikat, dan harus segera meninggalkan Manila lewat Kapal Laut.
AS kawatir jika Filipina akan menjadi Negara Merdeka. Tan Malaka menyebut Filipina sebagai Indonesia Tua karena lebih dulu merumuskan jadi Republik. Posisi Filipina hanya selangkah lagi saja ketika itu untuk jadi negara Merdeka setelah dilepas oleh Spanyol. Spanyol menembak mati bapak Filipina Jose Rizal yang pernah bertempat tinggal di Kalimantan bagian utara sebelum di eksekusi.

Relasi Tan Malaka dan pers selama ini tak banyak diungkap dalam perjalanan pers nasional setelah Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Padahal Tan Malaka adalah pribumi yang mendirikan pers di luar negeri. Titik pertemuan pemikiran Tan Malaka inilah yang mungkin jadi alasan Panitia Kongres PWI di Solo, Pebruari 1946, mengundang Tan Malaka sebagai pembicara kunci, selain Menteri Penerangan.
Bertindak sebagai Panitia Kongres Wartawan RM Soemanang, wakil panitia Soemantoro pelopor Pers Pancasila 1966 yang juga pendiri Kantor Berita KNI. Dan Zuraidah Rosihan Anwar, gadis cantik putih bersih putri Betawi, kedua terakhir awak dari Koran Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.

Tahun 1948, Tan Malaka dan Sukarni teman seperjuangan dengan Soemantoro, mendirikan Surat Kabar Murba, SK Murba di Yogyakarta. Semaun meninggal tahun 1971 karena sakit di Jalan Cikini Raya Jakarta. Dalam pemakaman di Pasuruan bertindak sebagai inspektur upacara Menteri Luar Negeri Adam Malik pada saat era Presiden Suharto, dengan upacara ke negaraan.

Sukarni pada tahun 30 an sudah kursus wartawan di Bandung didirikan pengajar AM Sipahoetar dan Soekarno kemudian Presiden. Ramadhan KH : Inggit Garnasih; Ku Antar Ke Gerbang.
Tan Malaka dan Sukarni oleh Presiden telah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan Pahlawan Nasional.

Era Keseimbangan
Memasuki era pers industri pada tahun 1998 dengan lahirnya UU Pers Nomor 40 tahun 1999 di era demokrasi yang paling liberal. Jagad media massa melahirkan banyak koran baru sampai mengalahkan jumlah Parpol sebanyak 48 Parpol pada tahun 1999.

Saat itu industri pers tumbuh menjadi tren baru didalam pendirian usaha penerbitan yang bebas dan tidak dipersulit lagi oleh pemerintah. Cuma hanya cukup berstatus berbadan hukum PT, Yayasan dan Koperasi sudah bisa menerbitkan media massa. Sementara bantuan subsidi kertas, kewajiban SIUP dan SIT dicabut oleh Undang Undang yang dibuat Pemerintah dan DPR RI.

Pada zaman bebas itu juga ditandai juga masuknya pemodal termasuk konglomerat ikut memiliki usaha media massa sesaat sebelum dan sesudah reformasi. Banyak usaha pers yang lahir, banyak juga yang tumbang sendiri hanya dalam hitungan bilangan tahun tak sampai 10 jari. Adapun eksistensi media mainstream hari ini yang masih menemui pembacanya adalah produk dari seleksi pembaca media cetak yang panjang itu.

Yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya, bahwa mulai lima tahun terakhir seiring dengan munculnya media on line. Bersamaan dengan lahirnya teknologi siber 4.0. Yang kemudian melahirkan koran elektronik versi PDF.

Sejumlah koran media mainstream juga ikut masuk kedalam koran elektronik versi PDF demi pembacanya. Sehingga pembaca jadi semakin merdeka untuk memilih media massa kekinian.

Padahal di awal reformasi Koran versi PDF banyak dimanfaatkan oleh koran koran baru untuk menembus pasar yang didominasi koran mainstream. Namun tetap saja banyak koran baru yang gagal di tengah pembaca yang loyalis.

Tahun 2020 kehadiran koran PDF makin inten dan gencar di aplikasikan oleh koran Mainstream. Hingga hari ini di Jakarta setidaknya terdapat 7 media yang mengshare mengirim koran elektronik bagi yang ingin berlangganan untuk guna mempertahankan pembacanya, dan serta menarik pembaca baru.

Lalu kemudian banyak media yang menyesuaikan diri menjaga keseimbangan baru untuk tetap jadi mainstream, sampai memiliki koran cetak, platform on line, sosial media, TV sampai radio.

Didalam peta media massa setelah perjalanan 23 tahun reformasi koran. Sejumlah media kuat yang dimiliki usahawan yang bermodal besar diluar dugaan kembali malah bertumbangan satu persatu. Disisi lain sirkulasi pada tingkat bawah atau agen sampai pengecer media koran ikut bertumbangan juga.

Ini berbeda dengan dahulunya ketika ada kebanggaan untuk jadi pengecer koran karena korannya akan dicari ditunggu oleh pembeli atau pembaca. Malah dimasa jayanya ada koran atau majalah yang di foto copy lalu dijual pada pembaca yang kepeminatannya sangat tinggi.

Pemandangan macam itu sekarang ini sudah langka. Bahkan banyak media yang membagi bagikan koran atau majalah di setiap penerbitan secara gratis. Sebagian pembaca malah ada yang tidak mau menyentuhnya, dan apabila dibaca, yang dibaca cuma judul judulnya saja. Akibatnya banyak terbitan media massa baru yang akhirnya dimasukan kedalam gudang karena tidak ada yang mau membeli lagi. Selain faktor biaya sirkulasi media menjadi mahal, selain akibat Covid-19.

Realita tersebut membuat posisi pembaca semakin kokoh jadi pembaca yang memiliki kemerdekaan penuh ditengah pasar pers industri liberal dengan bisa memilih bacaan yang se idiologi mulai dari Koran, Radio, TV, Platform on line sampai sosial media dalam genggaman di satu tangan gawai yang lebih up to date dalam pemberitaan dalam hitungan menit ke menit.

Media Tikungan
Perjuangan kebebasan pers tidak semudah membalik telapak tangan. Sudah banyak tokoh pers yang berjuang dari zaman ke zaman agar kebebasan pers tidak di utak atik oleh pemerintah.
Kebebasan pers yang dinikmati pers hari ini adalah hasil dari pada puncak puncak perjuangan Pers sejak tempo doeloe itu.

Akan tetapi saat kebebasan pers dipertahankan sampai titik puncak oleh semua media massa. Manakala kebebasan pers berhasil menjadi arus besar media massa setelah hadirnya teknologi 4.0. Kebebasan pers malah dirusak oleh munculnya berita kebohongan Hoax yang tak pernah dikenal sejak lahirnya Pers Perjuangan.

Secara empiris media Hoax merupakan ahistoris. Bahwa Pers Perjuangan sejak semula digagas bukan sebagai media laten. Karena media massa adalah tempat ke empat untuk bertarung gagasan intelektual secara terbuka. Yang kemudian dari berita koran koran banyak menjadi referensi jadi buku ilmiah.

Derasnya Hoax pada saat sekarang ini telah menjadi beban baru kebebasan pers. Apabila anomali dan Hoax ini belum menampakkan tanda tanda akan segera diakhiri. Maka berita Hoax akan menggerogoti peradaban Pers Perjuangan.

Sejak mulai kelahiran Pers Industri 1998 yang jadi tren baru pendirian usaha pers yang cukup berbadan hukum. Semestinya, seharusnya siapapun pelaku media semestinya semakin matang dan bajik dengan tidak melanggar aturan dan hak orang lain.

Media massa buah dari pada kebebasan pers setelah masuknya teknologi komunikasi yang canggih, senyatanya manakala saat berada ditangan yang tidak tepat secara laten jadi dilema sampai hingga dikotori oleh berita Hoax dengan manfaatkan platform siber global pula.

Bahwa berita Hoax istilah baru dalam media, awalnya tidak dikenal di era Pers Perjuangan walau pendidikan wartawan nya saat itu tidak setinggi intelektual Sarjana sekarang tetapi tetap menghindari menciptakan berita lewat cara yang laten karena hukuman terberat pidana.

Berita Hoax oleh media tikungan semestinya tak perlu muncul ditengah kebebasan Pers yang diperjuangkan dari zaman ke zaman oleh tokoh pers. Berita Hoax semestinya tidak akan terjadi, apabila media sosial menegakkan atau menggunakan kaidah jurnalistik yang mudah di pelajari lewat mesin pencari digital atau di lembaga profesi.

Jika pada zaman pengaturan kebebasan pers dikenal dengan istilah Bredel, sekarang istilah yang dipakai Take Down untuk menghapus konten Hoax. Apabila dahulu sanksinya mulai izin dicabut atau skorsing penerbitan pada tempo tertentu saat berlaku rezim SIUP dan SIT bagi pelanggar isi berita cetak.
Yang tahapannya dimulai dari teguran lewat pendekatan lewat telepon, teguran tertulis, mencabut izin, dan jika mengandung unsur pidana deliknya diserahkan ke Polisi, Pengadilan dan di bui.

Sampai sekarang tak jelas benar siapa yang mengenalkan atau menemukan istilah Hoax dan di sanksi Take Down atas konten Hoax di sebagian media siber.

Sebagai kosakata baru dalam media. Sanksi apapun sebaiknya diumumkan secara transparan agar jadi pembelajaran bagi pembaca dan pengunggah konten.

Bahwa pers perjuangan dari awal didorong untuk meningkatkan profesionalisme. Dapat dikatakan Berita Hoax merupakan penumpang gelap dari kebebasan pers dan akan jadi ancaman bagi Pers Perjuangan.

Dengan usia pers yang lebih se abad, Hoax secara nilai sangat jauh dari nilai nilai Pers Perjuangan yang dipelopori para pendiri pers.

BM Diah dalam konsep berita selalu menekankan, bahwa jadi wartawan harus lebih pintar dari nara sumbernya agar tidak dibodohi dan dibohongi.

Pembaca dimana pun akan menuntut media massa kridibel dan profesional sebab profesionalisme lah yang akan menentukan masa depan media itu sendiri. Letjen Yunus Yosfiah mantan Menteri Penerangan 1998

Bahwa pemikiran media massa Naom Chomsky seorang asal Yahudi – Amerika Serikat mengingatkan kembali atas konsep media massa yang sangat mendasar.

Wartawan tempo doeloe telah memulai spirit pemberitan itu dengan melahirkan Pers Perjuangan yang digagas para tokoh tokoh wartawan di awal abad 19.

Pembaca sekarang memiliki kemerdekaan penuh di era pers industri untuk memilih bacaannya. Bahwa kekuatan kebebasan pers adalah pada kridibelitas dan profesionalisme pemberita dan pemberitaan selain oplah.

Diperlukan pemurnian pemberita agar media massa menjadi rujukan pembaca yang terpercaya.

Munculnya media tikungan diruang publik dengan pemberitaan Hoax merupakan anomali atas Pers Perjuangan dan kebebasan pers yang mengacu pada kaidah jurnalistik.

Diperlukan pendidikan pers yang bebas, profesional, berkeadaban dan bajik agar kebebasan pers tidak disalahgunakan oleh siapa pun jua.

Bagikan: